Barisan Penolak Nominasi Bersama Kebaya sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO Bertambah
Liputan6.com, Jakarta – Wacana pemerintah untuk mengajukan kebaya secara bersama-sama dengan negara lain (multination) sebagai Warisan Budaya Dunia Takbenda UNESCO terus mengalami penolakan. Suara kontra itu turut disampaikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, salah satu anggota Koalisi Tradisikebaya.id.
Wakil ketua yayasan, Etti RS menyebut sekalipun pengajuan usulan ke UNESCO merupakan otoritas pemerintah, masyarakat juga berhak berpendapat. Proses pengusulannya juga semestinya melibatkan segenap masyarakat karena setiap negara memiliki kekhasan budaya yang dilatari pola kehidupan masyarakat setempat.
“Pengajuan kebaya ke UNESCO oleh beberapa negara dapat membiaskan riwayat budaya, dari mana sesungguhnya asal mula busana tersebut? Selain itu, apabila diakui oleh banyak negara, mungkin saja kebaya tidak lagi menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia, bukan lagi bagian dari jati diri bangsa. Karena itu, saya kira akan banyak komunitas yang menolak wacana ini,” ucap Etti dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Selasa, 16 Agustus 2022.
Dia menilai jika wacana ‘milik bersama’ itu terus dilanjutkan, dapat berdampak pada warisan budaya Indonesia lainnya. Ia khawatir generasi mendatang akan kehilangan akar karena tidak bisa lagi membedakan mana budaya asli nenek moyangnya dan mana budaya dari bangsa lain.
“Sejak beberapa waktu lalu, kita sering didera masalah jati diri. Misalnya, klaim sebagian wilayah tanah air oleh negara lain, bahasa Indonesia yang didesak bahasa asing, lebih mencintai produk luar negeri daripada produk bangsa sendiri, dan sebagainya. Demikian pula dalam bidang budaya,” kata dia.
“Kita harus menjaga identitas tersebut. Sebab jika identitas kita sudah hilang, maka bisa hilang segalanya,” ia menyambung.
Hari Kebaya
Di tempat terpisah, aktris Dian Sastrowardoyo yang juga tergabung dalam Koalisi Tradisikebaya.id mengajak seluruh masyarakat menjadikan kebaya sebagai busana kebanggaan bangsa Indonesia. Dia berharap pemerintah mencanangkan kebaya sebagai pakaian wajib yang digunakan pada hari-hari tertentu, seperti halnya batik.
“Kalau bisa, suatu hari dicanangkan sama pemerintah, busana nasional atau kebaya wajib (digunakan) satu atau dua hari dalam seminggu, supaya kita tuh balik ke tradisi, ke adat. Karena itu yang justru membedakan kita dari bangsa-bangsa lain,” ucapnya.
Menurut Dian, hal itu merupakan salah satu bukti ke UNESCO bahwa banyak masyarakat Indonesia yang berkebaya. Dia juga mengajak masyarakat Indonesia berperan serta dalam gerakan “Kebaya Goes to UNESCO” dengan mengunggah foto di laman tradisikebaya.id.
“Aku mau ngajakin kalian semua para perempuan di Indonesia, untuk bisa berpartisipasi dalam pengajuan Kebaya. Agar ditetapkan sebagai warisan budaya dunia takbenda oleh UNESCO,” ujarnya.
Dukungan terhadap Gerakan Kebaya Goes to UNESCO bisa disampaikan lewat foto diri saat berkebaya dan diunggah di laman tradisikebaya.id. Gerakan itu berlangsung sejak 9 Agustus 2022 hingga 9 Desember 2022.
Pengajuan Bersama
Gaung Kebaya Goes To UNESCO jadi perbincangan hangat di berbagai lapisan masyarakat. Komunitas bergerak untuk mendukung kebaya agar diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda. Namun, usaha itu tersandung usulan agar pengajuannya dilakukan bersama-sama dengan Malaysia, Singapura dan Brunei Darusalam.
Direktur Perlindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Irini Dewi Wanti, mengatakan saat ini pemerintah Indonesia, melalui Kemendikbud, sudah bertemu secara daring dengan pihak Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam terkait pendaftaran kebaya ke UNESCO.
“Keempat negara ini sepakat mendaftarkan kebaya secara bersama-sama ke dalam daftar ICH UNESCO. Nominasi bersama seperti ini dikenal dengan istilah joint nomination atau multi-national nomination,” katanya melalui pesan pada Liputan6.com, Jumat, 5 Agustus 2022.
Irini juga mengaku pihaknya telah bertemu dengan berbagai komunitas pelestari kebaya untuk menyamakan persepsi mengenai joint nomination tersebut. Ia berkata, “Kami pun meminta masukan dari para perwakilan komunitas mengenai jenis kebaya yang akan diusulkan, wilayah sebaran kebaya, dan daftar komunitas pewaris kebaya.”
Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) mendorong wacana itu. “Karena yang mendaftarkan (kebaya ke UNESCO) itu pemerintah, komunitas support dengan kegiatan,” kata Rahmi Hidayati, pendiri komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI), beberapa waktu lalu.
Suara Kontra
Tetapi, Anggota Wantimpres, Sidarto Danusubroto menolak usulan itu saat menghadiri acara Parade Kebaya Nusantara di Sarinah Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu, 13 Agustus 2022. “Kebaya itu identitas dan jati diri bangsa Indonesia dan itu sesuai dengan apa yang disampaikan Bung Karno dalam Kongres Kowani tahun 1964,” ucapnya.
Ia menjelaskan Bung Karno dalam berbagai kesempatan sejak perang kemerdekaan sampai Indonesia merdeka terus menyerukan agar bangsa Indonesia bangga dan menjaga budayanya, ini termasuk penggunaan kebaya oleh perempuan Indonesia sebagai bagian identitas dan jati diri bangsa.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Menteri PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Bintang Puspayoga. “Saya sependapat agar kita mengajukan kebaya single nomination dan kita harus berjuang untuk itu,” ujarnya di acara tersebut.
Keinginan yang sama juga disampaikan anggota DPR Tut Roosdiono dan Ketua Timnas Pengajuan Hari Kebaya Nasional, Lana T Koentjoro. “Kajian Tim Riset Timnas menunjukkan bahwa kebaya digunakan perempuan Indonesia sejak abad ke-19 di Jawa dan luar Jawa sampai sekarang dengan beragam model kebaya sesuai kearifan lokal di masing masing daerah. Kebaya bukan sekadar busana tapi mengandung filososi dan identitas perempuan Indonesia,” Lana menjelaskan.
Libatkan Masyarakat
Menyikapi hal tersebut, Etti RS, Wakil Ketua Yayasan Kebudayaan Rancagé, salah satu anggota Koalisi Tradisikebaya.id, berpandangan bahwa pengajuan warisan budaya melalui jalur Multi Nation memungkinkan penolakan dari masyarakat Indonesia. Sekalipun pengajuan ke UNESCO merupakan otoritas pemerintah, tetapi sebaiknya melalui proses penjajakan yang melibatkan segenap masyarakat. Hal ini karena setiap negara memiliki kekhasan budaya yang dilatari oleh pola kehidupan masyarakat setempat.
“Pengajuan kebaya ke UNESCO oleh beberapa negara dapat membiaskan riwayat budaya, dari mana sesungguhnya asal mula busana tersebut? Selain itu, apabila diakui oleh banyak negara, mungkin saja kebaya tidak lagi menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia, bukan lagi bagian dari jati diri bangsa. Karena itu, saya kira akan banyak komunitas yang menolak wacana ini,” ucap Etti.
Etti mengungkapkan bahwa jika wacana ini dilanjutkan, dapat berdampak pada warisan budaya lainnya. Bayangkan jika satu per satu budaya milik kita dicicil untuk didaftarkan dengan negara lain sebagai “milik bersama”. Kelak, anak-cucu kita akan benar-benar kehilangan akar. Mereka bahkan tidak tahu lagi yang mana budaya asli nenek-moyangnya dan mana budaya dari bangsa lain. Semuanya akan berbaur dan akhirnya identitas bangsa tak hanya memudar, tetapi hilang.
“Sejak beberapa waktu lalu, kita sering didera masalah jati diri. Misalnya, klaim sebagian wilayah tanah air oleh negara lain, bahasa Indonesia yang didesak bahasa asing, lebih mencintai produk luar negeri daripada produk bangsa sendiri, dan sebagainya. Demikian pula dalam bidang budaya. Bangsa kita nyaris tak berdaya mempertahankan apa yang diwariskan para leluhur, sehingga banyak warisan yang lenyap, dibiarkan tenggelam, atau bahkan diakui oleh bangsa lain. Kita harus menjaga identitas tersebut. Sebab jika identitas kita sudah hilang, maka bisa hilang segalanya,” kata Etti.