Kebaja Saja (Kebaya Saya)
Kebaya kembang dengan sanggul berhias bunga merah yang melekat pada sosok dewasa itu membayang-bayangi ingatan seorang pemuda selepas pandangan pertama di ambang pintu rumah di Jln. Ciateul 8, Bandung. Inggit Garnasih, perempuan indah berkebaya itu, telah memesona Soekarno muda (Kusno) yang datang ke rumahnya sebagai perantau.
Inggit Garnasih, Gusti Nurul, Dewi Sartika, Raden Ajeng Kartini, adalah sederet perempuan yang mewariskan kebaya sebagai tanda cinta yang abadi.
Kebaya tak hanya memiliki fungsi sebagai pembungkus tubuh dan penanda status sosial ekonomi, tapi juga petuah bagi perempuan. Kebaya menuntun perempuan agar memiliki sifat keibuan, kepatuhan, kesopanan, keramahan, dan karakter yang kuat. Karenanya, kebaya tak lagi hidup berdasarkan kelas, semua wanita bisa memakai kebaya di mana saja.
Kebaya tak hanya milik budaya Jawa, melainkan telah menjadi bagian dari busana yang menarasikan gaya hidup. Para perempuan urban yang menyukai kebaya tanpa dilatarbelakangi prasangka etnis akan leluasa memadu-padankan kebaya dengan aneka rupa kain Nusantara.
Dian Sastro, Andien Aisyah, Titi Radjo Padmaja, Shareefa Danish baru-baru ini memopulerkan kebaya dengan wastra Nusantara berupa sarung pahikung dari Sumba, sarung witikau khas Sumba, rang-rang dari Bali, songket asal Palembang, dan batik tulis dari Jawa Timur. Para selebritas ini juga ikut berkampanye mengajak perempuan memakai kebaya di mana saja, ke kantor atau ruang-ruang publik lain. Hal serupa banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas perempuan yang ingin kebaya terus lestari.
Beragam narasi mengenai kebaya telah banyak diulas, dari kedudukannya sebagai busana nasional (wacana ideologi), kebaya sebagai simbol feminitas (gender) hingga kebaya ditinjau dari sisi historis yang mengalami transformasi cara berpakaian orang Indonesia yang dipengaruhi oleh datangnya berbagai bangsa ke Indonesia, baik melalui hubungan dagang, penyebaran agama, maupun penjajahan.
Perempuan dalam Kebaya
Kebaya ditinjau dari sejarahnya tidak saja dipakai oleh perempuan Jawa sebagai pakaian sehari-hari, namun juga oleh perempuan Belanda dan peranakan Belanda yang menetap di pulau Jawa.
Kebaya masuk Indonesia dibawa oleh masyarakat Tiongkok yang menyebar ke wilayah Malaka, Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi. Jadi, kebaya sebenarnya bukan hanya berkembang di Jawa. Meski kemudian Jawa, khususnya Jawa Tengah, memiliki ciri tersendiri dalam Kebaya, yaitu Kutubaru.
Melalui proses akulturasi budaya, jenis kebaya dibagi menjadi kebaya sunda, kebaya bali, kebaya jawa, kebaya betawi, kebaya madura, dan kebaya labuh/melayu. Orang Minang menyebutnya basiba, orang Jambi mengenalnya kebaya jambi.
Kebaya diperkirakan ada sejak Abad XV. Dikutip dari buku Ethnic Dress in the United States, busana tradisional “kebaya” berasal dari kata dalam bahasa Arab “kaba” yang berarti pakaian. Dalam buku ini, disebutkan bahwa busana kebaya mulai menjamur pada abad ke-15 dan 16, bersamaan dengan pertumbuhan pengaruh Islam di beberapa wilayah Indonesia, termasuk Jawa. Pada abad itu Jawa merupakan daerah jajahan bangsa-bangsa asing.
Sejak lama wilayah Kepulauan Nusantara telah menjalani hubungan perdagangan dengan China, India, dan Timur Tengah. Dengan banyaknya budaya-budaya luar yang berinteraksi dengan cikal bakal Indonesia, gaya kebaya pun ikut terintegrasi.
Menurut Ethnic Dress in the United States pula gaya kebaya Indonesia berasal dari akulturasi gaya Dinasti Ming dari China, muslim Arab, dan kebudayaan Portugis. Itulah mengapa, jenis dan gaya kebaya pun beragam, tergantung dari penggunanya, lokasi, atau modifikasi.
Sejumlah sumber menyebutkan, kebaya muncul dari era Kerajaan Majapahit (1293–1527), sebagai busana yang dikenakan untuk menutupi kemben, pakaian yang serupa kain diikat di bagian torso perempuan. Penggunaan kebaya untuk melengkapi kemben ini disebut seiring pertumbuhan pengaruh Islam di Jawa. Pada masa ini kebaya merupakan busana yang khusus dikenakan oleh perempuan dengan kelas sosial tinggi, seperti aristokrat dan keluarga kerajaan.
Namun, menurut para sejarawan, penggunaan kebaya oleh perempuan pribumi dengan kelas sosial rendah semakin meluas mulai abad ke-18 akhir, bersamaan dengan aturan oleh kolonial Belanda saat itu (1872) yang mengatur seluruh penduduk harus mengenakan pakaian etnis mereka di ruang publik. Tujuan utama pemerintah kolonial adalah mencegah pribumi mengenakan busana bergaya Barat.
Cerita menjadi lain karena pada 1872 hingga 1920 perempuan Belanda yang tinggal di Hindia Belanda mulai mengenakan kebaya dan kain batik di rumah-rumah mereka, karena bahannya yang cocok untuk wilayah tropis. Namun, sebagai pembeda dengan pribumi kelas bawah, perempuan Belanda mengenakan bahan kain mewah dan kain batik dengan desain ala Eropa.
Sebagai pembeda, perempuan Belanda memakai kebaya putih berenda dan perempuan pribumi memakai kebaya selain warna putih dan tidak berenda dengan motif-motif batik pedalaman. Baik perempuan Belanda maupun perempuan pribumi menjadikan kebaya sebagai penanda status yang berlaku di masa kolonial saat itu yang mengotak-kotakkan masyarakat berdasarkan ras dan pakaiannya.
Di awal Abad XX, para warga peranakan (keturunan) China juga memperoleh hak yang setara dengan masyarakat Belanda untuk mengenakan busana kebaya berbahan mewah. Inilah yang menjadi awal mula dari kebaya jenis kebaya encim dan kebaya kutubaru dengan aneka motif.
Menjelang kemerdekaan dan bangkitnya nasionalisme Indonesia, perempuan pribumi Jawa mengenakan kebaya sebagai simbol antikolonial. Perempuan Belanda kembali mengenakan pakaian Barat sebagai penanda status mereka sebagai orang Eropa di mana saat itu pemakaian kebaya dianggap rendah dan identik dengan pribumi. Setelah Indonesia merdeka (1945), Presiden Soekarno menyatakan kebaya menjadi busana nasional, sebagai identitas bangsa dan emansipasi kaum perempuan.
Pada perjalanannya, kebaya pun kian beragam. Ada kebaya encim, kebaya betawi, kebaya njonja (inspirasi dari kebaya yang dipakai orang Belanda) kebaya kartini, yaitu kebaya yang garis kerahnya dilipat dan berbentuk lurus vertikal, terinspirasi dari kebaya yang digunakan dalam foto RA Kartini. Kemudian kebaya kutubaru, kebaya yang menggunakan kain penutup dada (beff), kebaya sunda, kebaya labuh, hingga kebaya modern dengan desain-desain berani dan nyentrik.
Perintah Agama
Pada perkembangan Islam di tanah Indonesia, kebaya menjadi perintah agama agar perempuan menutup aurat karena umumnya masyarakat Indonesia hanya memakai kemben jarik. Berbeda dengan Jawa ningrat yang memang sudah memakai kebaya. Kebaya yang dipakai perempuan muslim umumnya lebih rapat seperti kebaya yang kerap dipakai Kartini. Karenanya, istri-istri para ulama memilih kebaya model kebaya Kartini dengan kerudung selendang (bukan jilbab, apalagi hijab, sebagaimana kini populer sebagai penutup kepala).
Pakaian istri-istri ulama bisa dilihat di pergerakan perempuan Aisyiyah Muhammadiyah dan Muslimat NU sebelum pasar busana berkembang pesat. Kitab fikih “Syarah Al-Qawaid” mengatakan kedudukan adat, budaya, tradisi adalah hukum. Apalagi jika sifatnya tidak bertentangan dengan akal sehat dan tidak bertentangan dengan agama, artinya sepanjang dinilai baik maka bagi Allah adalah baik.
Pada kebaya sesungguhnya wanita diajarkan kepatuhan, kehalusan, kelembutan, dan kesopanan serta mampu menjaga diri.
Goes to UNESCO
Sudah waktunya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengupayakan kebaya diakui dunia sebagai warisan budaya tak benda. Karena selain memiliki sejarah panjang, kesetiaan perempuan pada busana tradisional ini juga perlu dihormati. Ratusan tahun wanita Indonesia merawat kebaya bahkan sejak sebelum negara ini lahir.
Ratusan komunitas yang memiliki kecintaan pada bangsa dan budaya melakukan kampanye gerakan #kebayagoestounesco dengan berbagai cara. Harapannya sederhana, kebaya terus lestari menjadi identitas bangsa Indonesia.
*
Penulis adalah pegiat wastra Nusantara
Penulis buku Tenunku Warna-warni Benang Nusantara
Chief Editor tradisikebaya.id
Disusun dari berbagai sumber.