Pakaian Suku Baduy: Jamang Sangsang, Tantangan Zaman
Masyarakat adat Suku Baduy, selain terkenal dengan ritual dan gaya hidup mereka yang dekat dengan alam, juga menyimpan cerita menarik tentang tenun. Di Baduy, tenun bukan hanya sekedar kain, tapi juga identitas dan simbol status.
Seperti kita tau suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok yaitu Baduy Dalam sebagai orang Tangtu dan Baduy Luar disebut Panamping. Hal ini bisa dilihat dari pakaiannya.
Menyaksikan orang Baduy saat ini dengan 25 tahun silam tentu jauh berbeda. Anak-anak muda Baduy sekarang hampir sulit dibedakan dengan masyarakat di luar atau pengunjung. Sandal gunung, kaos oblong, celana pendek, telepon pintar dan kelengkapan hidup lainnya yang jamak dimiliki masyarakat modern, telah pula mereka miliki. Tapi dibalik perubahan itu, ada juga yang masih setia menjaga tradisi, terutama kalangan orang tua yang masih pikukuh pada larangan buyut. Mereka masih mengenakan Jamang Sangsang hitam, celana kolor pendek bagi Panamping, dan lomar atau telekung (ikat kepala).
Sedang perempuan Panamping memilih kebaya dan sarung batik hitam biru sebagai pakaian sehari-hari. Bagi yang muda, kaos juga menjadi pilihan atasannya. Warna warna kebaya yang digunakan hanya warna gelap seperti hitam, biru, ungu, hijau dan coklat. Kebaya putih digunakan saat upacara adat seperti kawaluh atau menghadiri pernikahan. Kebaya putih dipadu dengan sarung tenun yang disebut samping pepetikan. Sedang warna warna terang seperti merah, kuning, jingga atau pink adalah warna-warna pantangan bagi mereka.
Apa yang membedakan orang Tangtu dan Panamping?
Jamang Sangsang orang Tangtu dijahit dengan tangan, tanpa mesin. Pola baju dibuat kotak lurus, lengan panjang, dan hanya dilubangi di bagian leher dengan sedikit belahan bagian depan. Untuk laki-laki umumnya tidak memiliki kantong di luar, kantong dibuat dibagian dalam untuk meyimpan uang atau benda-benda penting. Umumnya orang Tangtu memakai jamang warna putih tetapi anak-anak mudanya banyak juga yang memilih warna hitam dipadu dengan kain aros sebagai pengganti celana.
Aros adalah kain tenun hitam bermotif garis-garis putih serupa lurik. Dari pola garisnya, seperti halnya lurik, aros juga memiliki beberapa pola garis, ada yang garis kecil ada yang lebar. Perbedaan ini menjadi tanda bagi pemakainya.
Samping Aros Badulak, ruasnya lebar dan memiliki tiga garis rapat, ini biasanya digunakan oleh Tangtu Tilu yakni para pemangku adat tertinggi. Berbeda lagi bagi pengurus adat biasa, atau laki-laki yang sudah menikah dan remaja. Khusus bagi anak-anak ada motif aros namanya matakan cira, berupa garis kecil sangat rapat. Lainnya ada motif aros sabeula, paranak anggeus, sarat awi gede dan aros kembang cikur.
Jadi dari kain yang digunakanpun kita bisa mengetahui dia adalah masyarakat biasa atau pengurus adat (Baresan).
Sedang jamang bagi perempuan Tangtu disebut jamang kurung. Pada bagian dada dihiasi bunga-bunga serupa bunga jalanan, memiliki dua atau satu kantong di luar yang juga berhias bunga-bunga dari benang bewarna hijau dan merah sebagai ciri khasnya.
Perempuan Tangtu sebenarnya tidak umum untuk keluar kampung. Mereka melakukan perjalanan keluar kampung hanya karena ada hal penting bersama suami dan anak-anaknya. Kegiatan mereka banyak dihabiskan di ladang. Maka jika memasuki musim ngored (bersih-bersih rumput di sawah) perkampungan nyaris sepi perempuan. Mereka mendiami rumah-rumah di ladang. Dan pakaian yang mereka kenakanpun bukan jamang, hanya kain hitam yang dijadikan kemben untuk menutupi bagian dada, ini disebutnya lamak hideung. Kain-kain yang digunakan juga tidak ada jahitan. Bahkan bagi perempuan tua masih banyak yang sehari-harinya yang tidak memakai jamang. Mereka hanya memakai kain hitam tanpa jahitan dan membiarkan bagian dada terbuka.
Untuk kain bawahan (samping), perempuan Tangtu tidak memakai aros, tapi kain hitam polos (lamak) tanpa jahitan yang diikat di pinggang. Seperti pada foto ini mereka mengenakan jamang kurung putih dan lamak hideung.
Seiring perubahan, penjahit jamang sangsang juga sulit ditemui. Di Kampung Cibeo misalnya dulu masih ada beberapa perempuan muda yang menjahit jamang di teras-teras rumah dengan jarum dan benang. Sekarang pemandangan ini tak lagi terlhat. Hanya ada Ambu Darti, istri Idong yang masih betahan sampai sekarang. Dia menjahit jamang di rumah ladang saat senggang. Satu waktu saya ikut menemaninya menjahit Jamang.
Sementara jamang sangsang Panamping dibuat dengan jahitan mesin dan memiliki kancing di bagian depan serta dua kantong kanan kiri di bagian bawah serupa pakaian chinese atau baju koko. Hanya bahan yang digunakan adalah bahan blacu sejenis tenun, tekstil pabrikan.
Dulu baju-baju orang Tangtu dibuat dari tenunan benang kapas tapi itu terjadi puluhan tahun silam. Jaman terus bergerak dan perubahan semakin nyata. Pemuda Tangtu sekarang tak lagi memakai jamang sangsang jahitan tangan tapi jahitan mesin yang dijual oleh masyarakat Baduy Luar di perbatasan.
Perubahan ini juga tampak dari pola transaksi. Jika dulu orang Tangtu keluar kampung membawa gula aren untuk ditukarkan dengan garam, lauk pauk dan benang, sekarang mereka tinggal merogoh kantong mengeluarkan lembaran rupiah. Ada pasar Kroya namanya yang menjadi tempat pertemuan tukar menukar barang yang sekarang tinggal cerita.
Sejatinya kakolot tetap membuat larangan terhadap kebaruan agar tradisi tetap terjaga. Maka falsafah hidup orang Baduy lojor teu meunang dipondok itu harapannya adalah agar Baduy tetap hidup di Pegunungan Kendeng. Karena apa yang akan terjadi di masa mendatang sebenarnya dapat terbaca hari ini.
Orang-orang Baduy hari ini adalah potret kecemasan sebuah kaum yang menghadapi zaman yang bergerak cepat. Mereka yang masih bertahan dengan tradisi harus terseok-seok menghadapi godaan kemajuan.
*Penulis adalah peneliti & pemerhati suku Baduy
Foto oleh: Nury Sybli