Buruh gendong Beringharjo, sehari mencicipi arena “catwalk”
Puluhan ibu-ibu yang tampil berkebaya pun menjadikan suasana pasar terlihat kian berbeda meskipun hiruk pikuk dan lalu lalang pedagang serta pembeli tetap menandakan aktivitas pasar tradisional yang hidup.
Mereka adalah buruh gendong di Pasar Beringharjo yang hari itu sengaja berdandan dan berkebaya untuk menjajal pengalaman baru, tepat satu hari menjelang Hari Kartini yang diperingati tiap 21 April.
Sebuah pengalaman yang tidak mengharuskan mereka menyandang beban di punggung dan berjalan naik turun tangga pasar menggendong beban puluhan kilogram, tetapi cukup berjalan di “catwalk” layaknya seorang model.
“Ini pengalaman pertama saya. Ya, senang rasanya,” kata Mursinah, seorang buruh gendong berusia 79 tahun yang setia melakoni profesinya lebih dari tiga dekade.
Kostum yang dikenakannya sehari-hari sangat berbeda dengan kebaya biru yang dikenakannya hari itu, Rabu (20/4). Untuk memudahkan aktivitasnya, kaos dan jarik menjadi pilihan yang dinilai praktis dan memudahkannya bergerak saat harus menggendong barang-barang berat.
“Berkebaya hanya sesekali saat ada kondangan,” katanya.
Ia pun tidak merasa grogi apalagi takut meskipun tidak pernah berlatih untuk berlenggak-lenggok di hamparan karpet merah tersebut.
Selama sekitar 35 tahun, Mursinah menjalani hari-harinya berkeliling lantai tiga Pasar Beringharjo untuk membawa gula jawa dari pedagang ke konsumen yang menunggunya di lokasi parkir.
“Sekali gendong sekitar 50 kilogram (kg). Memang berat tetapi sudah terbiasa. Sekali gendong dapat Rp7.500,” katanya.
Dalam sehari, Mursinah mampu mendapat penghasilan sekitar Rp40.000-Rp50.000 dengan ongkos perjalanan pulang pergi Rp17.000.
Ia yang bertempat tinggal di Kabupaten Kulon Progo setiap hari tiba sekitar pukul 05.30 WIB di Pasar Beringharjo dan bekerja hingga pukul 14.00 WIB.
“Pekerjaan ini berat. Tetapi lebih senang jadi buruh gendong daripada tidak mengerjakan apapun di rumah. Pernah libur empat hari. Memang enak di rumah tetapi tidak sesenang seperti saat bekerja sebagai buruh gendong,” katanya.
Buruh gendong lain, Warsiyati yang sudah menjalani profesi selama 11 tahun pun mengaku senang bisa menjadi model dadakan sehari meski hanya berjalan di “catwalk” di selasar pasar.
“Sempat deg deg-an, grogi sebelum tampil. Tapi begitu jalan di karpet semua langsung hilang. Perasaannya senang sekali,” katanya.
Ia pun mengaku tidak melakukan persiapan apapun untuk tampil di peragaan busana tersebut, bahkan kebaya hijau tosca yang dikenakannya dan dikenakan buruh gendong lain difasilitasi oleh Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta.
Sebelumnya, buruh gendong yang akan tampil di peragaan busana diminta memilih kebaya yang akan dipakai. “Kalau kain milik sendiri. Kebetulan ada yang serasi,” katanya yang berharap kegiatan serupa bisa kembali digelar tahun depan.
Berkebaya, membuat Warsiyati merasa tampil lebih cantik. “Sehari-hari, hanya pakai kaos saja. Jadi hari ini saya merasa cantik apalagi banyak teman yang juga ikut kegiatan ini,” katanya.
Penghargaan untuk perempuan
Pergelaran peragaan busana yang diikuti 40 buruh gendong Pasar Beringharjo tersebut digagas oleh komunitas Perempuan Berkebaya Yogyakarta. Sebuah komunitas yang seluruh anggotanya gemar mengenakan kebaya dan ingin memperkenalkan kebaya agar lebih dicintai masyarakat.
Komunitas tersebut sengaja menggelar peragaan busana untuk memperingati Hari Kartini 2022 dengan mengajak buruh gendong sebagai bentuk penghargaan kepada buruh gendong karena mereka adalah perempuan-perempuan tangguh yang bekerja membanting tulang untuk menambah penghasilan keluarga.
“Hari Kartini identik dengan perempuan dan kali ini kami pun ingin memberikan penghargaan kepada buruh gendong perempuan. Mereka adalah pejuang keluarga,” kata Ketua Perempuan Berkebaya Yogyakarta Margareta Tinuk Suhartini.
Ia berharap peragaan busana yang mungkin hanya dilakukan dalam sehari itu dapat memberikan pengalaman menyenangkan dan membekas di tiap hati buruh gendong yang sudah meluangkan waktu mereka untuk berjalan di catwalk.
“Kami berharap bisa memberikan kegembiraan bagi buruh gendong setelah mereka lelah bekerja,” katanya.
Sebagai komunitas pecinta kebaya, tentu saja “dress code” yang harus dikenakan adalah kebaya. Tidak ada ketentuan model khusus kebaya yang dikenakan tetapi apapun modelnya, kebaya diyakini mampu memunculkan kecantikan perempuan.
Buruh gendong yang terlibat dalam peragaan busana tersebut bahkan sebagian besar sudah berusia tua lebih dari 70 tahun.
Namun, usia hanyalah angka karena meskipun tidak dibekali dengan kemampuan mumpuni layaknya model profesional, buruh gendong tetap tampil memukau dengan cara mereka sendiri.
Beberapa masih berjalan sembari menundukkan kepala berhati-hati agar tidak terjatuh, berjalan sembari menangkupkan kedua tangan, tetapi ada pula yang percaya diri berjalan sembari merentangkan tangan layaknya penari, atau berjalan sembari meletakkan tangan di pinggang.
“Ini adalah saat yang tepat untuk mengajak buruh gendong mengingat kembali siapa sosok Kartini. Mereka juga Kartini,” katanya.
Selain misi untuk memperingati hari Kartini, komunitas tersebut juga memiliki misi lain untuk melestarikan dan menyebarkan rasa cinta berkebaya.
“Bagi kami, berkebaya adalah wujud cinta terhadap budaya warisan nenek moyang. Kebaya adalah budaya tradisional Indonesia dan kami bertekad untuk melestarikannya,” katanya yang menyebut komunitas tersebut sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Selain peragaan busana, peringatan Hari Kartini di Pasar Beringharjo juga disemarakkan dengan bazaar murah pakaian layak pakai. Bazaar tersebut juga diikuti buruh gendong yang di pasar tersebut berjumlah sekitar 360 orang.
Pakaian layak pakai dijual dengan harga yang cukup murah dari Rp2.000 hingga Rp5.000 per potong. Namun pembeli tidak bisa memilih dan hasil penjualan pakaian layak pakai akan digunakan untuk kegiatan bakti sosial.
Sumber: antaranews.com