Kebaya, WBTB dan UNESCO
Akhir-akhir ini kegiatan “Kebaya Goes to UNESCO” yang gegap gempita semakin luas dilaksanakan oleh berbagai komunitas di banyak wilayah nusantara. Tetapi tahukah Anda bahwa “perjalanan” untuk suatu negara mendaftarkan elemen budayanya ke UNESCO perlu melalui proses yang cukup panjang?
Ayo, kita coba pahami bersama secara ringkas proses yang harus dilalui suatu elemen budaya agar dapat diinskripsikan (dicatat/didaftarkan) ke UNESCO sebagai warisan budaya tak-benda (WBTB). Namun sebelum itu, kita pahami dulu apa itu definisi warisan budaya tak-benda (intangible cultural heritage atau ICH) yang dikutip sebagian dari website UNESCO sbb:
“Warisan budaya tak–benda” adalah praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan – serta instrumen, benda, artefak, dan ruang budaya yang terkait dengannya – yang diakui oleh komunitas, kelompok, dan/atau individu sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Warisan budaya tak–benda ini, yang diturunkan dari generasi ke generasi, secara terus-menerus diciptakan kembali oleh komunitas dan kelompok sebagai respons terhadap lingkungan hidup mereka, sebagai interaksi dengan alam dan sejarah mereka, dan menciptakan kebanggaan identitas (sense of identity) dengan upaya keberlanjutan, sehingga mendorong penghormatan terhadap keragaman budaya dan kreativitas manusia.
Ekspresi Budaya: Tradisi Berkebaya
Dengan demikian definisi “kebaya” perlu kita sepakati apakah “kebaya” itu sebagai praktik budaya atau ekspresi budaya yang kemudian diartikan sebagai tradisi berkebaya? Jadi yang ingin kita daftarkan bukan “kebaya” sebagai artefak (benda), tetapi tradisi memakai kebaya atau “Tradisi Berkebaya”.
Bagaimana mendaftarkan suatu elemen budaya ke UNESCO?
Suatu elemen budaya bisa dinominasikan ke UNESCO oleh satu negara secara single-nation nomination atau dapat juga diajukan nominasinya secara bersama-sama beberapa negara yakni secara multi-national nomination atau sering disebut sebagai joint nomination.
Negara manapun berhak mendaftarkan elemen budaya yang ada di negaranya ke UNESCO dan tidak ada negara yang bisa melarang negara lain mendaftarkan elemen budayanya ke UNESCO. Lalu apa artinya suatu elemen budaya diinskripsikan (terdaftar) di UNESCO?
Suatu elemen budaya yang telah diinskripsikan dalam daftar Representative List of Intangible Cultural Heritage UNESCO hanyalah menyatakan bahwa budaya itu hidup (paling tidak sudah satu generasi diturunkan di suatu masyarakat) dan masyarakat tersebut berkomitmen untuk merawat dan menjaga budaya tersebut. Terdaftar di UNESCO bukan berarti pengakuan hak eksklusif atau hak milik dari suatu elemen budaya dan bukan tentang orisinalitas atau otentiknya suatu elemen budaya tetapi maknanya adalah kontribusi elemen budaya tersebut pada nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan nilai-nilai universal untuk kemanusiaan. Jadi terdaftar di UNESCO tidak ada kaitannya dengan asal-usul (“origin” atau asli/tidak asli) suatu budaya karena bisa saja suatu budaya hidup juga di negara lain.
Dari mana asal Kebaya?
Asal-usul busana kebaya Indonesia pun masih diperdebatkan karena ada pengaruh dari Portugis, Arab, Cina dan lain-lain pengarauh melalui sejarah jalur perdagangan di Nusantara. Posisi Indonesia yang strategis di jalur perdagangan terutama di Asia Tenggara hingga Timur Tengah, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pintu masuk berbagai kebudayaan yang dibawa oleh para pedagang asing, termasuk budaya berpakaian yang kemudian melebur dan beradaptasi dengan budaya setempat. Bahkan terdapat kemungkinan bahwa berbusana kebaya bisa dikategorikan sebagai “shared culture” bersama-sama negara-negara serumpun di Asia Tenggara, meskipun memiliki detail yang berbeda.
Oleh karena itu, narasi yang digunakan untuk mempromosikan tradisi kebaya Indonesia sebaiknya tidak “mendiskreditkan” negara lain atau mengklaim bahwa negara lain akan “mengambil” suatu elemen budaya dari negara yang merasa “memiliki” budaya tersebut. Sekali lagi, makna dari tercatatnya suatu elemen budaya di UNESCO bukan terkait hak kekayaan intelektual dan bukan “hak kepemilikan” suatu budaya. Pencatatan suatu budaya pada daftar UNESCO hanya sebagai pengakuan bahwa budaya itu ada dan hidup di suatu wilayah tertentu dan masyarakatnya melestarikan budaya itu.
Identitas Bangsa
Lalu bagaimana jika berkebaya dikaitkan dengan nation pride atau national identity? Memang suatu elemen budaya bisa saja ada sense of identity tetapi tidak selalu harus dikaitkan dengan national identity karena elemen budaya itu merupakan ekspresi budaya kelompok tertentu yang mungkin memiliki ciri tertentu tetapi tidak selalu dikaitkan identitas bangsa. Untuk membahas aspek ini, saya serahkan kepada mereka yang lebih ahli dalam bidang antropologi, psikologi, budaya, sosiologi dan bidang ilmu lain yang bisa menjawab argumentasi itu.
Shared Culture
Brunei, Malaysia, dan Singapore (dan kemungkinan juga Thailand menyusul) mengajak Indonesia untuk menominasikan ‘kebaya’ sebagai “shared culture” secara multi-national nomination ke UNESCO yakni bersama-sama negara ASEAN dan nampaknya mereka sudah siap dengan dossier (berkas dokumen) yang akan diajukan ke UNESCO.
Namun mayoritas suara dari komunitas di Indnoesia yang mengusung “kebaya goes to UNESCO” menginginkan agar Indonesia menominasikan tradisi berkebaya secara single nation nomination (nominasi secara sendiri sebagai pihak negara tunggal). Apa konsekuensinya jika Indonesia pada saat ini mengajukan tradisi berkebaya dengan cara single nation nomination dan tidak ikut bersama negara-negara ASEAN lain untuk multi-national nomination?
- “Kebaya” harus didaftarkan dulu sebagai WBTB nasional dan perlu ditentukan jenis kebaya apa yang akan didaftarkan sebagai WBTB nasional. Saat ini jenis kebaya yang sudah terdaftar sebagai WBTB nasional adalah kebaya labuh yang diajukan oleh Pemda Riau dan kebaya krancang yang didaftarkan oleh Provinsi DKI. (Pendaftaran WBTB nasional harus dilakukan oleh “pewaris” WBTB melalui pemerintah daerah). Jadwal pendaftaran WBTB nasional di Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud dibuka setiap bulan Maret dan pengumuman keputusan dimasukkannya dalam daftar inventaris WBTB nasional adalah di bulan Oktober setiap tahun. Dengan demikian jika kebaya akan didaftarkan sebagai WBTB nasional pada bulan Maret 2023, keputusannya adalah pada Oktober 2023.
- Sementara itu, mengingat bahwa siklus penerimaan nominasi di UNESCO untuk single nation nomination adalah hanya satu nominasi setiap dua tahun sekali yakni pada bulan Maret, maka paling cepat Indonesia dapat mengajukan nominasi ke UNESCO adalah Maret 2024. Itupun harus ikut antri dengan WBTB nasional lainnya seperti jamu, tempe, tenun dan reog Ponorogo yang sudah terlebih dahulu mau masuk “antrian” ke UNESCO.
- Jika Indonesia tidak bergabung dalam multi-national nomination, maka pihak negara Brunei, Malaysia, Singapore dan Thailand akan tetap lanjut menominasikan “kebaya” pada Maret 2023, karena siklus penerimaan nominasi secara multinational nomination terbuka setiap tahun pada bulan Maret.
- Jika pihak negara lain (state parties) sudah menominasikan “kebaya” ke UNESCO, maka Indonesia harus “berbeda” dari yang dinominasikan oleh pihak negara lain.
- Alternatif lain adalah mengajukan nominasi tradisi berkebaya yang berciri khas Indonesia melalui “extended nomination” setelah nominasi diajukan secara bersama (secara multi-national nomination). Namun pola pengajuan nominasi seperti ini juga cukup rumit.
Apapun pilihan strategi nominasi yang akan dijalankan oleh Indonesia, keduanya memiliki konsekuensi yang perlu dipertimbangkan secara komprehensif dan matang. Tulisan ini hanya menguraikan realita dan tantangan yang perlu dipertimbangkan jika Indonesia akan mengajukan tradisi berkebaya melalui single-nation nomination. Sedangkan proses untuk nominasi secara multinational nomination adalah sama tetapi siklus nya “lebih cepat” dan perlu koordinasi dengan pihak negara lain yang bergabung dalam joint nomination tersebut. Mengingat bahwa pada periode ini Indonesia menjadi Ketua ASEAN, maka diperlukan diplomasi yang tepat untuk menjaga semangat konvensi yang sudah diratifikasi Indonesia bersama negara-negara ASEAN lainnya.
Bagan “Time Line” untuk proses nominasi suatu elemen budaya ke UNESCO: