Antara Kebaya, Hanbok dan Kimono, Kamu Pilih Mana?
JAKARTA, NETRALNEWS.COM – Berkebaya kerap diidentikkan dengan kondangan atau kegiatan resmi. Namun sebenarnya kamu bisa pakai kebaya di mana saja, kapan saja dan pada kesempatan apapun.
Kebaya memiliki sejuta makna, bukan sekadar pakaian tempo dulu yang digunakan para nenek atau orang tua kita.
Pergilah ke Jepang atau Korea, begitu banyak anak-anak muda tanpa malu di jalan-jalan utama Shibuya Tokyo, atau Myengdong Shopping Street di Seoul. Jangan heran kalau melihat mereka mengenakan pakaian Kimono, dan Hanbok, bahkan lengkap dengan tatanan rambut, sandal, dan tas khas kearifan lokal setempat.
Mereka tak malu saat berjalan-jalan dan bahkan ada kebanggan tersendiri saat ditanya. “Saya kira tak ada yang salah jika kita menggunakan busana kami sendiri. Inilah budaya yang kami miliki,” tutur Ono San, saat ditemui Netralnews di Shibuya beberapa waklu lalu.
Ungkapan serupa disampaikan Lee Young, gadis Korea yang rumahnya dijadikan homestay. Saat akhir pekan menurutnya waktu yang tepat untuk mengenakan busana Hanbok.
“Saya dan teman-teman selalu menyiapkan diri dengan baik untuk menunjukkan bahwa Korea punya busana cantik yang dipakai wanita-wanita cantik. Kami bahkan tak mau kalah untuk ke salon untuk menata rambut kami agar terlihat lebih cantik dan berbeda dari keseharian kami,” tutur Lee, yang faseh berbahasa Indonesia karena pernah belajar Bahasa Indonesia di Bali.
Jika gadis-gadis atau oppa-oppa Korea, serta anak-anak muda Jepang saja tidak malu dan bangga mengenakan busana khas negerinya, bagaimana dengan kamu? Milenial Indonesia?
Aurel mahasiswi semester akhir sebuah universitas di Jakarta bahkan mengaku tak punya kebaya. “Pernah punya tapi itupun dah gak tau kemana lagi, soalnya dipakai saat kaka sepupu menikah tiga tahun lalu.”
Senada dengan Aurel, bestinya Alfi juga mengungkapkan hal serupa. “Kalau mau kondangan atau nanti wisuda yaa tinggal pinjam aja. Soalnya bingung mau dipakai kapan. Hari Kartini? Di Kampus dah gak pernah ada lagi perayaan nasional yang mewajibkan memakai kebaya,” ujar gadis berusia 21 tahun yang kuliah di salah satu kampus di Serpong ini.
Micella, mahasiswi di sebuah kampus di Depok bahkan mengaku tak pernah mengenakan kebaya. “Seumur hidup aku gak pernah memakai kebaya. Mau kemana? Wisuda SMA? kebetulan bukan pakai kebaya. Kondangan? Waah gak juga. Terus mau kemana?,” ujarnya.
Melihat fenomena demikian, Kelompok Perempuan Berkebaya mengajak para perempuan Indonesia untuk kembali mengenakan dan membudayakan kebaya.
Pada hari Minggu, 19 Juni 2022, mulai pukul 6.30, Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia dan Pertiwi Indonesia akan melakukan pawai dan jalan dari FX Senayan menuju Bundaran HI.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Perempuan Berkebaya Indonesia dan Pertiwi Indonesia, sebagai bentuk dukungan penuh Kebaya goes to Unesco.
Tujuannya yaitu penetapan Kebaya sebagai Warisan Tak Benda Indonesia. Mari kita dukung, demi Indonesia! Lebih Cantk dan Berkebaya,” tutur Rahmi Hidayat Ketua Perempuan Berkebaya pada Netralnews, Jumat, (17/6/2022).
Pakaian yang digunakan secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu ini, kini eksistensinya mulai menurun karena arus tren fashion dunia yang masuk ke Indonesia. Padahal, di tahun sekitar 1980-an banyak perempuan Indonesia yang mengenakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari hingga untuk menghadiri acara-acara resmi seperti pesta pernikahan.
Melihat krisis budaya itu, terbentuklah Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI). Diketuai oleh Rahmi Hidayati, PBI bermula dari perkumpulan sesama rekan wartawan yang memiliki visi dan misi yang sama untuk melestarikan pakaian khas perempuan Indonesia itu.
PBI memiliki tujuan utama yaitu menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat terutama anak-anak muda untuk melestarikan kebaya sebagai aset warisan nenek moyang Indonesia yang tidak ternilai harganya. Melalui berbagai kegiatan yang dimilikinya, PBI juga ingin mempromosikan kebaya ke ranah Internasional supaya lebih banyak yang mengetahui pakaian khas perempuan Indonesia.
Salah satu upaya yang dilakukan Rahmi Hidayati selaku ketua PBI dalam kampanyenya mengenakan kebaya terbilang cukup unik. Wanita asal Riau yang pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia itu mengenakan kebaya untuk mendaki gunung-gunung besar di Indonesia.
Kebiasaannya mendaki gunung sambil mengenakan kebaya terinspirasi oleh penduduk sekitar Gunung Rinjani. Saat itu, Rahmi mendapati para perempuan sekitar Gunung Rinjani yang mengenakan kebaya dan sandal selop, mendaki gunung menuju pura untuk beribadah. Dari situ, Rahmi menyadari bahwa kebaya juga bisa dikenakan untuk aktivitas fisik seperti mendaki.
Menurut Rahmi, ada dua alasan mengapa banyak anak muda merasa kurang tertarik mengenakan kebaya. Pertama adalah karena penggunaan kain dan kebaya dianggap kurang praktis dan membuat susah bergerak.
“Alasan pertama orang ngga mau pakai kebaya adalah ribet. Padahal saya sudah membuktikan kok bahwa kebaya itu bisa dipakai untuk kegiatan sehari-hari,” kata Rahmi, dalam wawancara bersama Netralnews, Senin (30/5/2022).
Selain mendaki, Rahmi juga seringkali mengenakan kebaya untuk melakukan aktivitas luar ruangan seperti paralayang, mendayung, dan bersepeda.
“Nenek moyang kita jaman dulu ngapa-ngapain pake kebaya. Ke sawah pake kebaya, nyari kayu di hutan pake kebaya. Jadi, asliya emang bisa dipake kemana-mana. Buktinya saya sepedaan aja bisa pake kebaya,” lanjutnya.
Selain karena ribet, menurut Rahmi, banyak anak muda yang kurang tertarik mengenakan kebaya karena dianggap kuno. Hal tersebut dikarenakan kebaya identik dengan pakaian yang dikenakan orang-orang tua di desa.
“Yang kedua, katanya pakai kebaya kayak nenek-nenek. Nah, sekarang gimana caranya kita memperkenalkan kebaya ke anak-anak muda dan menumbuhkan kecintaan mereka terhadap budaya itu,” kata Rahmi menjelaskan.
Minimnya kesadaran anak muda jaman sekarang tentang pelestarian kebaya dijadikan Rahmi sebagai tantangan supaya hadirnya KPBI dapat menjadi inspirasi bagi para perempuan di Indonesia untuk tidak berhenti menjaga dan melestarikan budaya yang ada.
Upaya yang dilakukan Rahmi dan PBI untuk menumbuhkan kecintaan terhadap kebaya dilakukan dengan gerakan Selasa Berkebaya. Gerakan ini tidka hanya dilakukan oleh anggota PBI, bahkan beberapa instansi pemerintah seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perhubungan juga menerapkan Selasa Berkebaya bagi karyawan wanitanya.
Rahmi Hidayati telah melakukan sosialisasi berkebaya diberbagai instansi dan organisasi. Ia membagikan tips dan cara yang tepat untuk mengenakan kain supaya bisa dipakai sebagai pakaian sehari-hari dan tidak mengganggu dalam beraktivitas.
“Jadi kalau ada organisasi atau komunitas yang penasaran gimana pakai kain yang enak, hubungin saya aja deh. Nanti saya sharing gimana caranya pakai kain supaya bisa dipakai buat kegiatan sehari-hari,” ujar Rahmi.
Kedepannya, Rahmi berharap perempuan Indonesia bersedia untuk mencoba mengenakan kebaya di berbagai aktivitas sebagai upaya melestarikan kebudayaan Indonesia.
“Paling tidak mereka tertarik dan punya kesadaran untuk melestarikan budaya, kalo kita ngga bergerak terus siapa yang akan melestarikan?” imbuh Rahmi.
Ia juga berharap kebaya bisa menjadi identitas Indonesia yang diakui dunia. Oleh karena itu, pada April 2021, diadakan Kongres Kebaya Nasional yang memunculkan usulan Hari Kebaya Nasional dan mendaftarkan kebaya ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda asal Indonesia.
“Karena kebaya adalah warisan leluhur kita, mari kita jaga yang kita punya. Kalo kita ngga punya konsen yang tinggi akhirnya hilang, bisa diakui sama negara lain juga,” tutup Rahmi.
Selain Rahmi, Nemia juga termasuk yang senang mengenakan kebaya dan wastra Nusantara. Menurutnya, jika dia ke luar negeri adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan budaya Indonesia. Salah satunya adalah dengan mengenakan kebaya yang dipadukan kulot tenun, batik atau celana jins.
“Malah keren kok dan nggak ada yang aneh, apalagi repot kalau kita pakai kebaya. Sama sekali nggak. Saya malah bangga sebab kebaya kalau dimodifikasi dengan menggunakan apa saja, jadi tampak modis,” tambah Nemia.
Ia menambahkan, awalnya banyak yang heran di kantor jika dirinya memakai kebaya. Tapi lama-lama mereka tebiasa. Meskipun hari berkebaya buat dia hanya pada Selasa dan Kamis saja.Tapi kebiasaan ini akhrinya diikuti bebeapa teman kalau mau miting dengan orang asing. “Semoga banyak perempuan Indonesia terutama anak-anak muda milenial, Gen Z yang sadar dengan kebudayaan Indonesia, terutama busana daerah dan kebaya termasuk di dalamnya.”
Dari dua contoh di atas, perjuangan PBI semata-mata bertujuan untuk membuka kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya melestarikan warisan budaya Indonesia supaya tidak mengalami kepunahan atau diakui oleh negara lain. Salah satu caranya adalah dengan mengenakan kebaya di berbagai kesempatan, termasuk untuk aktivitas sehari-hari.
Sumber: netralnews.com